Perubahan dinamika kebijakan pertambangan mineral Indonesia, memungkinkan negara membentuk instrumen hukum yang mendukungnya. Gagasan mendasar tentang kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menganut paham Penguasaan oleh negara yang diwakilkan oleh Pemerintah cq Kementerian ESDM dengan tujuan utama bagi kemakmuran rakyatnya. Potensi Indonesia sebagai penghasil Nikel terbesar di dunia tentunya mendapatkan perhatian dari Negara guna menjaga dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor mineral ini. Indonesia sendiri telah menerapkan persyaratan pengolahan dalam negeri untuk bahan baku bijih nikel sebelum diekspor sebagai upaya pemerintah Dalam rangka mendukung pembangunan nasional dan menjamin kebutuhan energi domestik, meningkatkan nilai tambah nikel dan mendukung program hiliirsasi (pembangunan smelter nikel di dalam negeri). Pemerintah mempercepat program ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 25 Tahun 2018, dengan memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel berkadar rendah sampai 11 januari 2022 Namun sejak terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 11 Tahun 2019 ternyata kebijakan ini diberlakukan dengan lebih cepat, yaitu pada tanggal 1 Januari 2020. Akibat percepatan kebijakan hilirisasi ini Uni Eropa menggugat Indonesia ke forum World Trade Organization (WTO).Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai perkembangan peraturan perundang-undangan terkait Hilirisasi sektor nikel di indonesia dikaitkan dengan gugatan Uni Eropa dalam forum dispute settlement body- WTO, Keikutsertaan indonesia dalam forum internasional seperti WTO seharusnya memberikan kemudahan bagi negara kita dalam pemasaran komoditas-komoditas perdangan bukan menyandara kebijakan nasional apalagi negara indonesia merupakan negara berkembang yang masih membutuhkan kesejahtraaan bagi masyarakatnya, Tentunya pemerintah seharusnya melakukan perhatian terhadap ratifikasi suatu perundang-undangan agar tidak merugikan kepentingan dalam negeri sebagai anggota WTO Indonesia juga dapat meminta WTO untuk memberikan yurisdiksi khusus yang diakui sebagai organisasi perdagangan dunia untuk memberikan kebijakan khusus (preferential status) guna menampung kepentingan melalui ketentuan Special and Differential Treatment (S&D), yaitu klausul yang memberikan perlakuan istimewa kepada negara berkembang dalam hubungan perdagangan. Hal ini juga harus dijadikan dasar untuk memperkuat peran serta BUMN dan Perusahaan Daerah dalam pengembangan industri pemurnian nikel, menggingat Smelter dalam negeri hanya PT Antam. Padahal, Prioritas untuk mendapatkan IUPK diperbolehkan untuk usaha milik negara dan milik daerah. Akibatnya, besar kemungkinan bahwa optimalisasi ekonomi nasional yang dilakukan BUMN ini akan berdampak pada pendapatan dari perusahaan pemurnian milik negara haruslah menjadikan pertimbangan bagi Pemerintah untuk menguatkan sektor hilir nikel di dalam negeri.

ID Koleksi: |
62674 |
Jenis Koleksi: |
Tesis |
Pengarang: |
|
NPM: |
2106783816 |
Jurusan: |
Pascasarjana Fakultas Hukum |
Program Studi: |
Magister Ilmu Hukum |
Pembimbing: |
Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H |
Nomor Panggil: |
T01400 |
Pemilik: |
PDRH FHUI |
Kota Penerbitan: |
Jakarta |
Tahun: |
2023 |
Lokasi: |
FHUI Depok |
Keyword: |
|
Softcopy: |
- |
Abstrak: |
Ketersediaan
Eksemplar: 1 dari 1
Tersedia di: PDRH FHUI Depok
Dilihat: 547 kali
Pinjam Koleksi ini*Harus login menggunakan akun SSO kamu yah!
PDRH-FHUI